Adaptasi Keseharian di Belanda

by - 16.9.14

Dimana bumi dipijak
Disitu langit dijunjung

Peribahasa yang sering kali Bapaku katakan ketika aku hendak berdiaspora ke Belanda. Beliau selalu mengatakan peribahasa ini dalam semua nasihatnya. Intinya, peribahasa ini berarti adapatasi. Setiap kita mendatangi suatu tempat, maka kita harus beradaptasi dengan segala cara hidup, adat, dan pemikiran ditempat baru. Hal ini bukan berarti kita harus merubah segala prinsip hidup kita, tapi kita hanya disarankan untuk menyesuaikan dengan tata cara hidup di tempat baru. Kembali ke nasihat bapa, yah soal adaptasi. Aku ingin menuliskan pengalamanku beradaptasi pada awal-awal kedatangan di sebuah negara yang sangat berbeda dari Indonesia, yaitu Belanda. 




ini buat bapak, sebuah bukti dd menjalankan nasihatnya. hheehe...

Pertama,
Hal pertama yang harus aku adaptasikan adalah cara beribadah sebagai orang Islam. Aku seorang muslim dan sekarang aku berada di negara non-muslim. Dalam hal ini aku belajar menjadi minoritas. Adaptasi dimulai ketika aku tidak mendengar adzan sebagai penanda waktu solat. Solusinya disiplin diri sendiri dengan mendownload aplikasi penanda waktu solat. Hal yang juga harus disesuaikan adalah fasilitas ibadah yang minim. Masjid di kota tempatku tinggal (Leeuwarden) hanya ada dua dan mushola sepertinya tidak ada. Selain itu, kampusku disini tidak memberikan tempat solat khusus. Aku dan teman-teman muslim lainnya hanya diperbolehkan solat di ruang meeting kampus dengan catatan saat ruang meeting itu kosong. Jika di ruang meeting sedang ada aktivitas, aku dan teman-teman kampus mencari tempat lain dengan pergi ke kosan terdekat atau mencari ruang kelas kosong. Banyak ikhtiar lebih yang harus dilakukan untuk beribadah disini. Jadi, solusinya kita harus selalu berdoa pada Allah agar dimudahkan dalam beribadah.

Kedua,
Cuaca dan iklim adalah hal kedua yang menguji kemampuan adaptasiku. Indonesia adalah negara tropis yang hangat dan Belanda adalah negara subtropis yang cenderung dingin.  Jadi bisa dipastikan apa yang aku rasakan? Satu kata: Dingin. Hal ini telah menguji tingkat adapatasiku saat aku baru tiba di Bandara Schipol (bandara internasional Belanda). Kedatanganku saat itu bulan Agustus yang berarti musim panas, aku berpikiran akan kegerahan. Ternyata setelah disini aku baru menyadari bahwa musim panas saja dingin, apalagi musim dingin nanti. Solusinya memakai jaket dan kaos kaki kemanapun dimanapun. Adaptasiku atas cuaca sementara ini telah berjalan baik. Sekarang aku tidak merasa terlalu kedinginan. Entah nanti winter seperti apa. Semoga nanti aku bisa menuliskan juga pengalamanku saat winter di Belanda. 


Jaket dan syal adalah pakaian sehari-hari


Ketiga,
Hal selanjutnya adalah makanan. Semua orang Indonesia pasti setuju kalau makan tanpa nasi berarti belum makan. Inilah yang sedikit membuat susah di Belanda. Makanan utama disini adalah roti. Hanya makan malam yang kemungkinan menghadirkan nasi. Ah tapi itupun sangat jarang. Dari beberapa acara makan malam disini. Hidangannya kentang, bukan nasi. Disini pun supermarket-supermarket memiliki etalase besar untuk khusus untuk roti. Solusinya membeli beras yang harganya satu kilo sekitar 1 euro dan masak sendiri. Selain lebih hemat lebih efisien juga untuk mengatasi laparnya orangnya Indonesia. Satu hal lagi soal makanan, yaitu rasa.  Indonesia surganya makanan enak. Ada soto, nasi padang, baso, lotek, rujak, pecel, dll. Ah enak dan tentunya memiliki rasa gurih. Pengalamanku, disini resto-resto tidak memiliki rasa yang cukup baik untuk lidahku. Selalu kurang gurih. Jadi sebagai solusinya bawa bumbu-bumbu jadi dari Indonesia. Bumbu ayam goreng, nasi goreng, sop, tempe, penyedap dll. Aku termasuk salah seorang yang sulit beradaptasi dengan makanan. Sehingga aku masak sendiri dengan bumbu-bumbu yang kubawa dari Indonesia.

FYI, makanan halal terbilang mudah didapatkan di Belanda. Di kotaku terdapat beberapa toko yang khusus menjual daging halal. Satu pesan berhatilah-hatilah dengan makanan apapun yang dijual di supermarket. Ada baiknya melihat ingredient produk sebelum membeli. Hindari produk yang memiliki kandungan varkens/babi. 


Keempat,
Ok, yang terakhir untuk diadaptasikan adalah transportasi. Sebagai sebuah negara maju transportasi umum di Belanda sudah mencapai tahap nyaman, aman, bersih, dan tepat waktu. Dari hal ini saja sudah terlihat bagaimana perbedaannya dengan di Indonesia. hhehe. Oleh karena sudah nyamannya transportasi umum di Belanda, maka mobil pribadi tidak berada pada porsi besar. Banyak orang menggunakan bis atau kereta untuk berpergian. Akupun harus beradaptasi dengan ini, di Indonesia aku selalu diantar jemput bapa dengan menggunakan mobil. Bahkan untuk hanya pergi main ke pusat kota Bandung. Dan disini semua harus ku ganti dengan dianter jemput kereta tepat waktu. Tepat waktu penting untuk disebut karena kita tak bisa lagi menggunakan skema kereta telat di Indonesia. Sekarang untuk transportasi pribadi. Disini mayoritas atau sebagian besar orang menggunakan sepedah untuk transportasi jarak dekat. Tidak ada angkot atau ojek, setiap orang bahkan anak berumur 4 tahun sudah memiliki sepedah. Sebagai orang yang mau tinggal disini, aku pun membeli sepedah dan menggunakan sebagai alat transportasi utama jarak dekatku. So, buat yang ingin berdiaspora di Belanda. Siapkan kemampuan sepedah yaa.



Si kuning sepedahku

Sekian adaptasi yang harus dilakukan pada masa-masa awal kedatangan di Belanda.

You May Also Like

0 comments